26
Jul
11

REFLEKSI TRANSFORMASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DARI HULU SAMPAI KE HILIR*)

REFLEKSI TRANSFORMASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

DARI HULU SAMPAI KE HILIR*)

Andi Chairil Furqan**)

 

Prestasi yang gemilang atas proses transformasi akuntansi sektor publik, khususnya pada pemerintahan di Indonesia tidak dapat sepenuhnya hanya diukur dari opini atas LKPP, LKKL dan LKPD yang trendnya menunjukkan perbaikan dari periode ke periode. Dengan masih ditemukannya sejumlah penyimpangan dan penyelewengan atas pengelolaan keuangan negara, mengindikasikan masih ada permasalahan dalam proses transformasi tersebut. Permasalahan ini sangat mendasar, karena selain berakibat pada tidak berfungsinya akuntansi secara maksimal, juga karena terjadi pada semua lini. Untuk itu, dalam rangka pembenahannya, maka proses transformasi akuntansi sektor publik semestinya diikuti dengan pembentukan mindset yang sesuai oleh para penentu kebijakan atas fungsi akuntansi dalam lingkup pemerintahan dari hulu sampai ke hilir, dan wujud dari pembentukan mindset tersebut, keberadaan master plan pengelolaan keuangan negara/daerah dan pembentukan komite audit, minimal  pada setiap entitas pelaporan, sudah saatnya untuk diwacanakan sebagai alternatif strateginya.

 Dipenghujung tahun 2010 ini, kabar gembira datang dari Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Hadi Poernomo dalam Rapat Paripurna di gedung DPR pada tanggal 12 Oktober 2010 silam berkaitan dengan kualitas penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Pemerintah Daerah (LKPD). Dinyatakan bahwa kualitas penyusunan LKPP, LKKL dan LKPD saat ini telah lebih baik daripada periode sebelumnya. Hal ini ditandai dengan perubahan opini BPK atas LKPP dari opini tidak memberikan pendapat (TMP/Disclaimer) atas LKPP tahun 2004-2008 menjadi opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas LKPP tahun 2009 serta terjadinya peningkatan persentase opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dan penurunan persentase opini TMP atas LKKL dan LKPD pada tahun 2009.

Pernyataan tersebut setidaknya memberikan angin segar dan secuil harapan atas terwujudnya good governance penyelenggaraan negara di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Namun, dengan masih ditemukannya 10.113 kasus yang senilai Rp. 26,12 triliun dari 528 objek pemeriksaan BPK pada semester I tahun 2010 tersebut, mengindikasikan bahwa masih ada permasalahan dalam proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia selama 5 tahun terakhir ini, harapan atas berfungsinya akuntansi dalam rangka mengurangi korupsi dan kolusi, meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara ternyata masih belum dapat menunjukkan kontribusinya secara maksimal.

Faktor utama yang mengakibatkan belum maksimalnya fungsi akuntansi di dalam lingkup pemerintahan selama ini dikarenakan proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia belum sepenuhnya diikuti dengan pembentukan mindset yang sesuai atas fungsi akuntansi dalam organisasi pemerintahan oleh sebagian penentu kebijakan mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai kepada wakil rakyat di DPR dan DPRD. Hal ini terlihat dari polemik yang tak berujung atas regulasi yang mendasari penerapan akuntansi pada pemerintahan, fungsi akuntansi yang dalam kenyataannya masih banyak dikesampingkan dalam setiap tahapan pengelolaan keuangan negara/daerah dan tidak terpublikasinya laporan keuangan pemerintah secara luas kepada masyarakat, yang kesemuanya itu terjadi dikarenakan anggapan sebagian para penentu kebijakan yang hanya menganggap akuntansi sebagai alat pertanggungjawaban semata atau dalam kata lain hanya menjadikan akuntansi sebagai komoditas politik dalam rangka menjalankan ketentuan perundang-undangan belaka.

 POLEMIK ATAS REGULASI

Regulasi yang mendasari penerapan akuntansi pada pemerintahan di Indonesia, khususnya sebagai dasar penyajian laporan keuangan pemerintah telah diberlakukan sejak pertengahan tahun 2005 silam melalui PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Polemik atas regulasi ini adalah selain penuh dengan nuansa politis dalam penetapannya, pemberlakuan basis akrual pada akuntansi pemerintahan yang semestinya telah diberlakukan sejak tahun 2008 silam sebagaimana diamanatkan pada pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Keuangan Negara, juga disinyalir masih terdapat kontroversi dengan ketentuan perundangan-undangan lainnya. Begitupula pada tataran penerapan SAP, khususnya pada Pemerintah Daerah, pedoman pengelolaan keuangan daerah yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri RI belum sepenuhnya sesuai dengan SAP, sehingga untuk menyesuaikan dengan SAP, Pemerintah Daerah harus melakukan konversi terlebih dahulu. Keadaan ini diperparah lagi dengan adanya beberapa Pemerintah Daerah yang tidak memiliki Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang komprehensif dalam mengatur pengelolaan keuangan daerah dan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah. Hal inilah yang mengakibatkan akuntansi dari sisi regulasi belum dapat berfungsi secara maksimal.

 

FUNGSI AKUNTANSI YANG DIKESAMPINGKAN DALAM TAHAPAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA/DAERAH

Urgensi keberadaan akuntansi dalam sektor pemerintahan di Indonesia mulai terlihat sejak diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, khususnya sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30-32. Ketentuan tersebut memberikan perubahan mendasar dalam pertanggungjawaban penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yaitu dengan diwajibkannya Presiden/Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, disajikan berdasarkan SAP, dengan lampiran laporan keuangan perusahaan negara/daerah.

Seperti yang tersurat dalam ketentuan perundang-undangan, tahapan pengelolaan keuangan negara terdiri dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban, yang mana jika berdasarkan fungsi akuntansi, semestinya akuntansi dapat berperan mengefektifkan setiap tahapan tersebut. Namun kenyataannya, beberapa para penentu kebijakan telah keliru menafsirkan amanat UU Keuangan Negara diatas, seakan-akan akuntansi atau dalam hal ini SAP hanya berfungsi sebagai acuan dalam menyelenggarakan pertanggungjawaban APBN/APBD saja, sehingga yang terjadi adalah fungsi akuntansi masih banyak dikesampingkan dalam setiap tahapan pengelolaan keuangan negara lainnya.

Dalam tahapan perencanaan dan penganggaran misalnya, masih ditemukan tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan publik, ketidakterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki, maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan pemerintah, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan publik, anggaran pendapatan negara/daerah yang underestimate dan kesalahan dalam penyajian laporan keuangan yang diakibatkan karena kekeliruan dalam menetapkan pos anggaran.

Kondisi ini merupakan dampak dari penyusunan rencana dan anggaran yang tidak didasarkan pada informasi yang relevan dan andal, fakta-fakta sebenarnya serta pemikiran realistik dan objektif, yang kesemuanya membuktikan tidak berfungsinya akuntansi secara maksimal dalam mengefektifkan perencanaan dan penganggaran pemerintah.

Dalam tahapan pelaksanaan juga demikian, masih ditemukan adanya transaksi keuangan yang tidak didukung bukti yang cukup, penggunaan langsung atas pendapatan negara/daerah, ketidakhandalan data aset dan persediaan, terjadinya kesalahan pencatatan transaksi, ketidaktepatan penggunaan anggaran, kehilangan dana/barang, ketidaksesuaian data antara satu pihak dengan pihak lainnya serta keterlambatan penyusunan laporan keuangan.

Kondisi ini mengindikasikan kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan keuangan negara, mulai dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Bendahara, Pengurus Barang, Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK), sampai kepada Pengguna Barang atau Pengguna Anggaran, yang mana didasari anggapan bahwa proses akuntansi hanya dimulai dan dilakukan oleh PPK saja serta tidak terkait dengan pihak-pihak lainnya. Hal ini diperparah lagi dengan kebiasaan melakukan “copy paste” oleh sebagian pihak, misalnya untuk sistem dan prosedur pengelolaan keuangan, sistem informasi keuangan, termasuk sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP), yang mana karena penyusunannya tidak didasarkan pada pertimbangan aspek biaya dan manfaat (cost and benefit), ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi informasi serta kondisi geografis dan budaya masyarakat, mengakibatkan dalam tataran pelaksanaannya selalu mengalami kendala, bahkan di beberapa daerah sistem tersebut sulit untuk diimplementasikan, sehingga berdampak pada tidak berfungsinya akuntansi secara maksimal dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan APBN/APBD.

Sedangkan dalam tahapan pengawasan, yang semestinya merupakan proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan berjalan secara ekonomis, efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi pengawasan yang masih bersifat korektif dan belum preventif, pengawasan yang inefisiensi dan temuan hasil pengawasan yang di “peti es” kan masih sering dijumpai, yang mana keadaan ini mengindikasikan bahwa sistem pengendalian yang merupakan salah satu fungsi akuntansi belum diimplementasikan secara maksimal dan hal inilah yang kemudian menyebabkan peran aparat pengawasan intern pemerintah (termasuk inspektorat) belum efektif dalam menciptakan early warning system.

TIDAK TERPUBLIKASINYA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH SECARA LUAS KEPADA MASYARAKAT

Secara khusus, tujuan dari pelaporan keuangan di sektor publik adalah menyediakan informasi yang berguna bagi proses pengambilan keputusan dan menunjukkan akuntabilitas entitas mengenai sumberdaya yang dipercayakan kepadanya (IPSASB, 2007). Sehubungan dengan hal ini, berdasarkan pasal 19 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Pasal 9 UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik maka Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah yang dilakukan oleh BPK dan telah disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga sebagai lembaga publik, pemerintah wajib mempublikasikan laporan keuangan (audited) tersebut kepada publik secara berkala dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baik secara elektronik maupun non elektronik, sehingga dapat dijangkau dan dipahami oleh masyarakat.

Dalam kenyatannya, sebagaian besar entitas pelaporan baik di tingkat pusat maupun daerah tidak melakukan publikasi tersebut, dan satu hal yang patut disayangkan, yang dulunya BPK mempublikasikan laporan hasil pemeriksaan (LHP), walaupun masih terbatas menggunakan media internet, sejak pertengahan 2010 silam telah dibatasi aksesnya dengan alasan menjaga keamanan data. Hal ini tentunya menjadi catatan kemunduran yang berarti dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel.

Keseluruhan kondisi diatas tentunya membuktikan bahwa proses transformasi akuntansi sektor publik khususnya pada organisasi pemerintahan di Indonesia masih mengalami kendala yang serius dalam semua lini, mulai dari tahapan pembuatan regulasi yang mendasari penerapan akuntansi, dalam tahapan pengelolaan keuangan negara itu sendiri, sampai kepada publikasi laporan keuangan pemerintah kepada masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika yang terjadi adalah para akuntan atau tenaga akuntansi dalam pemerintahan saat ini hanya difungsikan sebagai penyusun dan pemeriksa laporan keuangan saja, penyelewengan dan penyimpangan pengelolaan keuangan negara/daerah masih merajalela dan respon ataupun partisipasi masyarakat dalam mengevaluasi pengelolaan keuangan negara yang dilakukan pemerintah masih sangat minim.

 PEMBENAHAN DARI HULU KE HILIR

Perlu disadari oleh seluruh pihak bahwa proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia telah menelan biaya yang sangat fantastis jumlahnya. Mulai dari biaya dalam pembuatan dan sosialisasi regulasi, biaya pembuatan dan pemeliharaan sistem serta penyediaan sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung sampai kepada biaya audit dan publikasi laporan keuangan pemerintah. Untuk itu, agar pengeluaran tersebut tidak sia-sia dan menjadi lebih bermakna, permasalahan ini perlu ditanggapi dan diantisipasi sejak dini, karena sehubungan dengan diberlakukannya basis akrual dalam akuntansi pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mulai berlaku pada 22 oktober 2010, serta pengaruh dari dikeluarkannya standar akuntansi terbaru bagi sektor swasta, seperti SAK ETAP dan termasuk konvergensi IFRS yang telah dicanangkan akan efektif diberlakukan pada tahun 2012 di Indonesia, akan menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah dan berdampak buruk pada proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia jika perubahan ini tidak diantisipasi dengan melakukan pembenahan dan pembentukan mindset yang sesuai atas fungsi akuntansi dalam lingkup pemerintahan dari hulu sampai ke hilir, termasuk pada pemerintahan desa.

Untuk itu, agar akuntansi dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan para akuntan dapat memberikan kontribusi nyata di lingkungan pemerintahan maka proses transformasi akuntansi sektor publik yang saat ini sedang digulirkan harus diikuti dengan pembentukan mindset yang sesuai atas fungsi akuntansi dalam lingkup pemerintahan. Jika ingin dipaksakan pembentukan mindset tersebut, bisa saja opini audit BPK dijadikan sebagai dasar pemberian reward/punishment bagi pejabat negara, namun apapun kebijakannya, pejabat negara harus memiliki komitemen yang tinggi dan konsisten untuk menjamin berfungsinya akuntansi secara maksimal dalam mendukung terwujudnya pengelolaan keuangan negara yang profesional, transparan & akuntabel serta bebas korupsi & kolusi.

Oleh karenanya, pembuatan master plan atas pengelolaan keuangan negara/daerah, sangat diperlukan keberadaannya untuk menjamin keberlangsungan proses tranformasi akuntansi sektor publik khususnya pada setiap entitas pelaporan sebagai wujud dari terbentuknya mindset tersebut. Dengan dibuatnya master plan pengelolaan keuangan pada setiap entitas pelaporan, diharapkan dapat membenahi permasalahan penerapan akuntansi baik dari sisi regulasi, tahapan pengelolaan keuangan negara yang terkait dengan ketersediaan tenaga akuntansi dan infrastruktur pendukung maupun publikasi laporan keuangan secara terencana, bertahap dan berkesinambungan. Selain itu, mengingat strategisnya fungsi akuntansi dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan good governance pengelolaan keuangan negara maka keberadaan komite audit pada setiap entitas pelaporan juga dapat dijadikan sebagai tambahan alternatif solusinya. Dengan keberadaan komite audit yang independen (dari segi wewenang, personil dan keuangan), selain dapat berfungsi mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan master plan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, juga diharapkan dapat menciptakan terintegrasinya seluruh pelaksanaan audit (pemeriksaan) baik yang dilakukan oleh pihak internal maupun pihak eksternal.

Akhirnya, apapun solusi yang ditawarkan, jika tidak diimbangi dengan kesamaan visi dan misi serta mindset seluruh pihak dalam menyikapi solusi tersebut maka pengorbanan yang dikeluarkan selama ini akan menjadi sia-sia belaka. Begitupula proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia, untuk menjamin keberlangsungannya, dan agar para akuntan dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional maka visi dan misi serta mindset seluruh pihak, terutama para penentu kebijakan harus selalu diarahkan pada upaya pemberdayaan fungsi akuntansi secara maksimal pada setiap lini dalam lingkup pemerintahan, dari hulu sampai ke hilir.

 

*) Tulisan ini telah dimuat di majalah Akuntan Indonesia Edisi 29/Tahun V/2011

**) Penulis adalah Dosen Universitas Tadulako


3 Responses to “REFLEKSI TRANSFORMASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DARI HULU SAMPAI KE HILIR*)”


  1. October 7, 2011 at 9:20 pm

    Pak, boleh tolong nanti dijelaskan sedikit lebih lanjut diperkuliahan tentang “mindset” yg bapak maksudkan pada tulisan ini.

    saya masih kurang paham, dan ingin tahu lebih banyak tentang pendapat bapak akan PP 71 ini.


Leave a reply to Roninsky Seven Cancel reply


July 2011
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031